Artikel

Kurikulum Berbasis Cinta: Solusi untuk Pendidikan Indonesia

Oleh : Ma’ruf Yuniarno, S.Pd.I.M.A.

(Pengawas Madrasah KanKemenag Kota Yogyakarta)

 

Pendidikan adalah jantung sebuah bangsa, sebab dengan pendidikan akan menentukan arah masa depannya. Tantangan dunia modern seperti intoleransi, krisis moral, dan ketimpangan sosial saat ini maka pendidikan harus menjadi sarana untuk membentuk manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berhati mulia. Dua pendekatan yang menarik untuk dijelajahi adalah filosofi pendidikan Rabindranath Tagore dan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang digagas oleh Kementerian Agama. Keduanya menawarkan visi pendidikan yang berpusat pada cinta, kemanusiaan, dan harmoni dengan alam.

Rabindranath Tagore, penerima Nobel Sastra pertama dari Asia, dikenal sebagai pendidik visioner. Filosofi pendidikannya berakar pada keyakinan bahwa pendidikan harus membebaskan jiwa, bukan memenjarakannya dalam ruang kelas yang kaku.

Ada tiga pilar utama dalam filosofi pendidikannya; Pertama, Harmoni dengan Alam. Tagore percaya bahwa alam adalah guru terbaik. Menurutnya, belajar di alam membantu anak-anak mengembangkan rasa cinta dan tanggung jawab terhadap lingkungan.

Kedua, Kebebasan Kreativitas, Tagore menolak pendidikan yang hanya menghafal fakta. Pendidikan berarti memungkinkan pikiran untuk menemukan kebenaran tertinggi yang membebaskan kita dari belenggu kebodohan dan memberi kita kekayaan, bukan dari benda, tapi cahaya batin; bukan kekuatan, tapi cinta.

Ketiga, Kemanusiaan Universal, pendidikan harus menumbuhkan cinta kasih antarmanusia, melampaui batas agama, budaya, dan bangsa. Ia ingin murid-muridnya menjadi warga dunia yang menghargai keberagaman.

Sementara kurikulum berbasis cinta yang digagas Kementerian Agama sebagai respons terhadap tantangan pendidikan modern, seperti intoleransi, ujaran kebencian, dan kurangnya empati di kalangan pelajar. KBC, yang mulai diuji coba pada tahun ajaran 2025/2026, bertujuan menanamkan nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini. Saat ini terdapat 12 RA dan Madrasah sebagai pilot proyek KBC satu di antaranya RA Buanya Yogyakarta.

KBC bukan mata pelajaran baru, melainkan pendekatan yang diintegrasikan ke dalam kurikulum yang sudah ada. Nilai-nilai cinta, toleransi, dan spiritualitas disisipkan dalam pembelajaran, dengan metode yang disesuaikan untuk setiap jenjang pendidikan. Misalnya, di tingkat PAUD, anak-anak diajak bermain sambil belajar berbagi, sementara di jenjang yang lebih tinggi, siswa didorong untuk merefleksikan pengalaman mereka dalam konteks keberagaman.

Filosofi KBC berakar pada keyakinan bahwa pendidikan harus kembali ke fitrahnya, yaitu menumbuhkan cinta. KBC menekankan tiga elemen utama: guru yang mengajar dengan cinta, siswa yang belajar dengan cinta, dan orang tua yang mendampingi dengan cinta. Dengan pendekatan ini, KBC ingin melahirkan generasi yang humanis, toleran, dan peduli terhadap lingkungan.

Hubungan Filosofi Tagore dan KBC: Cinta sebagai Jiwa Pendidikan

Cinta sebagai Landasan Karakter: Tagore dan KBC sama-sama percaya bahwa pendidikan harus membentuk karakter yang penuh kasih. Tagore mengajarkan kemanusiaan universal, sementara KBC menekankan cinta kepada Tuhan dan sesama. Keduanya ingin siswa tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak dalam bertindak.

Pendekatan Holistik: Tagore menolak pendidikan yang hanya fokus pada aspek kognitif. Ia ingin pendidikan menyentuh hati, pikiran, dan jiwa. KBC juga mengusung pendekatan serupa, dengan menanamkan nilai-nilai spiritual dan emosional dalam pembelajaran.

Harmoni dengan Alam dan Masyarakat: Tagore mengajak muridnya belajar dari alam, sementara KBC mendorong siswa untuk mencintai lingkungan. Keduanya juga menekankan pentingnya hidup harmonis dalam masyarakat yang beragam.

Pendidikan untuk Kebebasan: Tagore melihat pendidikan sebagai sarana untuk membebaskan jiwa dari kebodohan. KBC, dengan semangat toleransi dan empati, ingin membebaskan siswa dari sikap intoleran dan kebencian.

Filosofi Tagore dan KBC menawarkan solusi nyata untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, tantangan seperti ketimpangan fasilitas, kesejahteraan guru, dan beban administrasi harus diatasi agar implementasi berhasil.

Langkah-langkah praktis yang dapat diterapkan:

Pelatihan Guru Berbasis Cinta: Guru adalah kunci keberhasilan KBC. Mereka perlu dilatih untuk mengajar dengan empati dan mengintegrasikan nilai-nilai cinta dalam pembelajaran. Pelatihan ini harus mencakup metode Tagore, seperti menggunakan seni dan alam sebagai media belajar.

Pembelajaran di Alam Terbuka: Sekolah-sekolah di Indonesia, terutama di daerah dengan akses ke alam, dapat mengadopsi pendekatan Tagore dengan mengadakan kelas di luar ruangan. Ini tidak hanya meningkatkan kreativitas siswa, tetapi juga menumbuhkan cinta terhadap lingkungan.

Kurikulum yang Inklusif: KBC harus memastikan bahwa nilai-nilai cinta dan toleransi diajarkan tanpa memaksakan satu agama atau budaya. Pendekatan Tagore yang menghargai kemanusiaan universal dapat menjadi panduan untuk menciptakan kurikulum yang inklusif.

Sinergi dengan Masyarakat: KBC menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Sekolah dapat mengadakan kegiatan seperti diskusi antaragama atau proyek lingkungan untuk memperkuat nilai-nilai cinta dan kebersamaan.

Evaluasi Berbasis Karakter: Keberhasilan KBC tidak hanya diukur dari nilai akademik, tetapi juga dari perubahan sikap siswa, seperti toleransi dan empati. Instrumen evaluasi yang dikembangkan Kementerian Agama harus mencerminkan hal ini.

Filosofi pendidikan Rabindranath Tagore dan Kurikulum Berbasis Cinta menawarkan visi yang sama: pendidikan yang berpusat pada cinta, kemanusiaan, dan harmoni. Keduanya mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan sekadar menjejali otak dengan fakta, tetapi menumbuhkan hati yang penuh kasih. Dengan mengadopsi pendekatan ini, Indonesia dapat melahirkan generasi yang cerdas, toleran, dan peduli terhadap lingkungan. [r]

Leave a Reply